Selasa, 28 April 2020

Agar Rumah Menjadi Asri, Rawatlah Tumbuhan Dengan Cinta

Guru Madrasah


Bagi Gayatri, ada dua manfaat urban farming. “Dari sisi lingkungan, tanaman hijau merupakan paru-paru kota dan dari sisi pangan, mampu menopang kebutuhan pangan sehat bagi keluarga,” kata Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan kementerian Pertanian RI ini. 

Menurut dia potensi urban farming di Indonesia sangat besar. Dari 10,3 juta hektare lahan pekarangan yang belum dimanfaatkan, lebih dari 30 persen ada di perkotaan. “Dan umumnya belum tergarap,” katanya. 

Bertanam tanaman pangan di pekarangan, kata Gayatri, mempunyai banyak manfaat. Selain untuk tujuan kenyamanan dan keindahan, juga sebagai sumber pangan keluarga. 

Menurut Gayatri, pangan dalam sebuah masyarakat tak hanya harus tersedia, namun juga terjangkau harganya. Bagi masyarakat kota kelas menengah, sudah dapat dipastikan kedua unsur itu terpenuhi, tanpa harus bersusah payah menanam sendiri. “Namun kebutuhan mereka adalah pada keamanan pangannya. Makanan organik menjadi kebutuhan selanjutnya,” katanya. 

Karena ditanam sendiri, mereka bisa memastikan pasokan pangan yang diberikan pada keluarganya adalah pangan yang aman, bebas dari bahan berbahaya dan beracun. “dengan menanam sendiri, maka akan lebih terjamin,” katanya. 

Urban farming, kata Gayatri, juga penting dari sisi keragaman pangan. Menurut angka kecukupan gizi, idealnya satu orang mengonsumsi sayur dan buah sebanyak 250 gr/kapita/hari. “Saat ini, rata-rata penduduk Indonesia baru memenuhinya sebanyak 190 gram/kapita/hari,” katanya. 

Ia menyatakan, urban farming juga penting untuk menularkan budaya hidup sehat pada generasi muda. Ia menggarisbawahi kebiasaan anak-anak muda zaman sekarang yang menggemari makanan siap saji dan instan. 

“Dari sisi kesehatan, ia jelas tak menguntungkan,” katanya. Ia lalu memberi gambaran tentang pangan ideal, yang digambarkannya sebagai a food plate, merujuk pada rumusan sederhana Kementerian Pertanian Amerika serikat, yaitu 0,5 bagian sayur dan buah, 0,25 karbohidrat, dan 0,25 bagian protein. 

Dengan menanam sendiri, anak-anak akan dilibatkan dalam perawatan tanaman itu, dan pada gilirannya, mereka akan senang hati mengonsumsinya. “Sebuah langkah yang sederhana namun menentukan kualitas kesehatan di masa mendatang,” katanya. 

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari